if you don’t heal what hurt you, you’ll bleed on people who didn’t cut you — anonymous

Yosua Pirera
2 min readJul 15, 2020

--

kamu tahu, aku memiliki ketakutan menjadi seorang manusia. manusia yang diliputi oleh rasa benci, amarah, iri, dan dengki. kamu tahu, manusia sering menyakiti sesamanya dan dirinya sendiri. sama seperti beberapa film ghibli — nausicaà, howl, dan lebannen.

nausicaá mengajari soal rasa benci yang berubah menjadi seorang monster. jujur saja, aku takut menjadi seorang monster, yang tiba-tiba dalam hitungan detik mengamuk. perasaan marah hanya meliputi sesaat kemudian menyesal. penyesalannya selalu tidak enak, menyisakan pahit di lidah dan benjolan di kepala.

lebannen atau arren, karakter dalam film tales from earthsea juga mengalami pergolakan batin yang luar biasa. membunuh ayahnya dan kabur dari kerajaan. diikuti oleh “bayangan” dirinya. sembunyi dan amarah itu muncul kembali. manusia sangat menyeramkan ketika marah.

jujur saja, kemarahan itu datang bisa dari perasaan kecil yang selama ini diam membisu. maksudku, mungkin saja, mungkin lho ya, kita marah karena ada banyak sekali “pr” yang belum terselesaikan di masa lalu. seperti, membahagiakan diri sendiri, memperoleh kasih sayang orangtua, atau mendapati kekasih yang pengertian.

misalnya, ketika kamu mendapati kekasih yang mendahulukan kekerasan bisa jadi karena orangtuanya selalu memperlakukannya demikian. atau, seseorang yang tiba-tiba memotong jarinya bukan karena cari perhatian melainkan ia memang tidak mendapatkannya sewaktu kecil.

if you don’t heal what hurt you, you’ll bleed on people who didn’t cut you — anonymous

aku jadi teringat oleh tulisan pendek yang muncul di lini masa media sosial. jujur saja, aku juga bukan orang baik. aku melukai hati setiap orang baik sengaja atau tidak sengaja. aku kerap marah. memproyeksikan rasa ketidakpuasanku dan melampiaskan kepada orang lain.

saat marah, aku bukan jadi diriku. atau memang diriku ya? yang jelas, saat si marah di garis depan, si lemah lembut justru sembunyi dan menontonnya begitu saja. si marah suaranya lebih kencang kek gemuruh gunung meletus.

kemudian, si lemah lembut masih saja sembunyi di balik sofa. giliran si penyesalan yang di panggung, katanya begini “duh, bodoh banget tadi ya,” sambil mengelus dagunya yang sebenarnya ia sama sekali tidak menyesal.

semoga saja, si lemah lembut punya waktunya atau ia sebenarnya pemalu. ia perlu melatih diri untuk piawai — tampil di depan banyak orang. saat itu juga, si marah punya kesempatan yang lebih tepat — seperti marah kepada penguasa yang seenak jidat menggunakan kekuasaannya.

--

--

Yosua Pirera
Yosua Pirera

Written by Yosua Pirera

he writes for the weary soul / instagram: @yosuaesthetic

No responses yet